Jamur Pelapuk Kayu (Wood Decay Fungi)
Menurut Deacon (2005), jamur pelapuk dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: jamur pelapuk putih (white rot fungi), jamur pelapuk cokelat (brown rot fungi), dan jamur pelapuk lunak (soft rot fungi). Volk (2000) mengatakan bahwa sebagian besar kayu terdiri dari selulosa dan lignin. Pengelompokan ini didasarkan pada hasil proses pelapukan, jamur pelapuk coklat menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna coklat sedangkan jamur pelapuk putih menghasilkan sisa hasil pelapukan berwarna putih.
Jamur pelapuk putih menyerang lignin dari kayu hingga menyisakan selulosa dan hemiselulosa (Bajpai, 2012), hal ini mengakibatkan kandungan lignin pada kayu berkurang. Lignin memiliki peran dalam penyedia kekuatan fisik pohon. Oleh karena itu, kayu yang terserang oleh jamur pelapuk putih akan berubah menjadi rapuh seperti spon. Jamur pelapuk putih menguraikan lignin menjadi air (H2O) dan karbondioksida (CO2) (Ohiwal et.al., 2017). Lignin sukar didegradasi, degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler (Perez et.al., 2002). Perombakan lignin oleh G. boninense terjadi melalui aktivitas enzimenzim perombak lignin (ligninase) (Isroi et al. 2011) yang diproduksi secara ekstraseluler yaitu mangan peroksidase (MnP) dan lakkase (Lac) (Hattaka, 2005; Ho et.al., 2020). Contohnya jamur G. boninense (Ratnaningtyas, 2012).
Jamur pelapuk cokelat hanya mampu merombak selulosa dan tidak mendegradasi lignin.
Jamur pelapuk lunak menyerang kayu berkadar air dan nitrogen yang tinggi.
Jamur pelapuk kayu memerlukan inang untuk mendapatkan lignin, selulosa, dan hemiselulosa sebagai makanannya sebagai sumber energi (Carll dan Highley, 1999; Riah, 2014).
Sumber:
Bajpai, P., 2012, Biotechnology for Pulp and Paper Processing, DOI 10.1007/978-1-4614-1409-4_7, Springer Science+Business Media. LLC
Carll, C. G., & Highley, T. L. 1999. Decay of wood and wood-based products above ground in buildings. Journal of Testing and Evaluation, 27(2), 150-158.
Deacon, J. 2005. Fungal biology, A textbook. Cornwell, England: Blackwell Publishing.
Hattaka A. 2005. Environmental biotechnology and biotechnology of natural resources. In Proceedings of the Scanbalt Meeting; Helsinki, 31 Okt 2005. Helsinki Microbiology Ociety: 1078-1092.
Ho, P.Y., Namasivayam, P., Sundram, S. dan Ho, C.L. 2020. Expression of Genes Encoding Manganese Peroxidase and Laccase of Ganoderma boninense in Response to Nitrogen Sources, Hydrogen Peroxide and Phytohormones. Genes, 11(11), 1263.
Isroi, Millati, R., Syamsiah, S., Niklasson, C., Cahyanto, M.N., Lundquist, K., Taherzadeh, M.J., 2011. Biological Treatment of Lignocelulloses With White-Rot Fungi and Its Applications : A Review. Bioresources.com.
Ohiwal, M., Widyastuti, R. dan Sabiham, S. 2017. Populasi Mikrob Fungsional pada Rhizosfer Kelapa Sawit di Lahan Gambut Riau. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, 19(2), 74-80.
Perez J, Muñoz-Dorado J, De-la-Rubia T, Martínez J. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int Microbiol, 5, 5363.
Rahmadhani
Ratnaningtyas, N.I. dan Samiyarsih, S. 2012. Karakterisasi Ganoderma spp. di Kabupaten Banyumas dan Uji Peran Basidiospora dalam Siklus Penyakit Busuk Batang. Majalah Ilmiah Biologi BIOSFERA: A Scientific Journal, 29(1), 36-41.
Riah. 2014. Keaweatan Alami Kayu Meranti Merah (Shorea leprosula) Hutan Alam dan Hutan Tanaman dari Serangan Jamur Pelapuk Kayu. Jurnal Hutan Lestari, 2(1).
Volk, T. 2000. Polypore primer: An introduction to the characters used to identify poroid wood decay fungi. McIlvainea, 14(2), 74-82.
0 komentar